18 Sengketa Ringan Di Banda Aceh Dapat Diselesaikan Secara Hukum Adat

Kepala Bidang Hukum Adat dan Adat Istiadat, Isfar Muchtaruddin.

Banda Aceh – Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Banda Aceh terus berupaya menciptakan masyarakat  rukun dan damai dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam hal ini, MAA Banda Aceh terus melakukan sosialisasi dan pelatihan serta simulasi tentang teori dan praktek tata cara pelaksanaan peradilan adat atau hukum adat bagi perangkat desa di  Kota Banda Aceh .

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Majelis Adat Aceh melalui Kepala Bidang Hukum Adat dan Adat Istiadat Isfar Muchtaruddin, pada Senin (06/07/2020) di Kantor MAA.

Isfar mengatakan, peradilan adat ini bertujuan untuk menjaga kerukunan dan kedamaian serta keharmonisan dalam rumah tangga, bertetangga dan lingkungan warga di Kota Banda Aceh.

“Sengketa/perselisihan ini dapat diselesaikan dengan musyawarah melalui mediasi oleh perangkat desa seperti keuchik (kepala desa), tuha peut (aparatur desa),  imum syik (imam desa) dan sekretaris desa sehingga kerukunan tetap terjaga,” kata Isfar.

Ia juga menjelaskan bahwa sengketa yang terjadi di beberapa gampong di Kota Banda Aceh sudah 85%  melaksanakan peradilan adat.

“Beberapa gampong di  Banda Aceh sudah 85% melaksanakan  peradilan adat. Ada beberapa gampong yang meminta MAA untuk menjadi narasumber, apabila gampong lain mengundang MAA  untuk menjadi pemateri kami siap untuk memberikan teori dan tata cara tentang pelaksanaan peradilan adat atau hukum adat tersebut,” jelas Isfar.

Kata Isfar, adapun perselisihan yang dapat diselesaikan dengan peradilan adat ini adalah perselisihan/sengketa dengan perkara ringan  yang berjumlah 18 perkara seperti yang tertera dalam Qanun Aceh No.9 tahun 2008 pasal 13.

” Perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antar keluarga yang berkaitan dengan faraidh, perselisihan antar warga, khalwat mesum, perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), perselisihan harta seharkat, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan dan pelanggaran adat tentang ternak, pertanian serta hutan,” kata Isfar.

Lanjut Isfar, persengketaan di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam sekala kecil yang merugikan komunitas adat), pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik. Pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung jenis ancaman) dan perselisihan-perselisihan yang lain yang melanggar adat dan istiadat.

Isfar berharap, dari kegiatan sosialisasi dan penyuluhan yang dilakukan oleh MAA,  maka perselisihan serta kasus-kasus ringan di Banda Aceh dapat berkurang.

“Kami dipercayakan oleh bapak Wali kota Aminullah Usman untuk melakukan pembinaan kepada masyarakat.  Insya Allah kami yakin dan percaya dengan berbagai aktifitas yang kami lakukan perselisihan dan  kasus-kasus ringan ini dapat berkurang, ” harap Isfar. (Rid/Hz)